Ayat-Ayat Cinta 2 Bagian 29 |
Seorang perempuan berjilbab hitam, berjubah cokelat tua meminta sedekah. Di dadanya ia mencangklong kertas ukuran empat puluh senti bertuliskan:
"Homeless. Help!". Fahri menatap wajah perempuan itu sekilas, dia ingin tahu berasal dari mana. Kalau di Jerman dan Prancis, kebanyakan pengemis berasalah dari Muslim Eropa Timur.
Namun wajah perempuan berjilbab hitam itu menurutnya tidak bisa dikenali berasal dari mana. Itu wajah yang agak buruk untuk tidak menyebut rusak. Seperti luka bakar yang parah. Fahri merasa iba. Perempuan itu diam saja tidak berkata sepatah kata pun. Tangannya tidak juga menengadah meminta. Kedua matanya memerhatikan Fahri dan Paman Hulusi dengan saksama.
"Kira-kira kalau kita makan berdua di The kitchin habis berapa, paman?"
"Yang pasti mahal."
"Sampai seratus pounds?"
"Bahkan mungkin bisa lebih. Tergantung menu yang di makan."
Fahri mengambil dompetnya dan mengeluarkan seratus pounds dan memberikannya kepada perempuan itu.
Menerima uang sebanyak itu, perempuan berwajah agak buruk itu berkaca-kaca kedua matanya.
"Thank you very much," ucap perempuan itu dengan suara serak.
"Semoga Allah menolongmu, sister," jawab Fahri.
"Amiin...amiin...amiin ya Rabbal 'alamiin." Kedua mata perempuan itu memejam, ia mengucapkan dengan suara serak terisak.
Fahri jadi haru. Ia sedikit membayangkan tempaknya beban hidup perempuan berwajah agak buruk itu sangat berat. Ia sempat bertanya, wajah yang seperti terbakar itu mungkin menyimpan cerita yang tidak sederhana .
Paman Hulusi menjalankan mobil itu meninggalkan parkiran dan meluncur ke jalan Commercial Quay, tempat di mana restoran The kitchin berada.
"Hoca, seratus pounds itu terlalu banyak buat pengemis seperti itu?"
"Jangan berkata begitu, paman. Sebentar lagi kita akan makan di restoran mewah yang mungkin menghabiskan lebih seratus pounds. Dia tampaknya benar-benar kesusahan. Semoga itu sedikit membantu."
"Hoca terlalu baik dan terlalu pemurah."
"Jangan berkata begitu Paman, tidak ada yang terlalu baik dan terlalu pemurah dibandingkan dengan kebaikan dan kemurahan Allah."
Paman Hulusi mengangguk sambil terus memacu laju mobil menembus udara Edinburgh yang masih dingin.
"La haula wa la quwwata illa billah, ... La haula wa la quwwata illa billah..." lirih Fahri menghayati dzikirnya.
***
(bersambung...)