Minggu, Akhir Bulan Mei 2013
perahu kertas dan sungi Argo Guruh |
Hari ini saya bersama
teman-teman Sahabat Pulau Lampung akan melakukan outbound ke Argo
Guruh. Salah satu sungai yang ada di daerah Tegineneng, Kabupaten Pesawaran.
Sungai ini merupakan salah satu sungai yang mengalir ke Bendungan
Batu Tegi juga loh ternyata.
Perjalanan dimulai dari
belakang rektorat Universitas Lampung. Dari banyak orang yang mau
ikut, ternyata ditunggu sampe pukul 11.00 yang dateng tetep cuman 8
orang saja. Alhamdulillah gak nambah. Soalnya motornya juga tadinya
kurang. Untung ada anak kost yang rela meminjamkan motornya.
Untuk benar-benar sampai
lokasi, dibutuhkan waktu 45 menit. Tapi kami harus tunggu-tungguan
karena ada yang mengalami ban pecah dan nyasar, sehingga waktu yang
kami butuhkan jadi lebih banyak dari itu.
Gak cuman masalah nyasar
dan ban pecah, selanjutnya kami bingung musti parkir di mana. Karena
medan (tjiaahhh medan) yang akan kami tempuh sangat tidak
memungkinkan untuk bisa dilewati oleh motor. Yah kalopun mungkin,
paling pas pulang motornya tinggal di rongsongkin aja.
Akhirnya kami memilih
sebuah rumah yang di depannya ada warung jual gorengan, cendol, dkk.
Dipilih karena yang punya rumah pasti akan sering keluar ke depan
rumah, dan juga halamanya yang bisa buat parkir 5 motor.
Nah inilah awal
perjalanan menghitamkan kulit dan membesarkan betis yang
sesungguhnya.hahaha
--+---
Awalnya direncanakan
kalau kami akan berangkat dari Unila pukul 09.00. Tapi persiapan
bekal yang belum selesai membuta kami ngaret segetah-getahnya. Ya,
kami sebelumnya melakukan iuran untuk persiapan bekal hari ini.
Karena rencananya saat di Argo guruh kita akan bakar-bakar ikan
getoooh. Tapi ternyata pas paginya, sayur dan nasinya belum siap.hhe.
Rencananya saya dan teman saya sebut saja R, mau membantu mbak-mbak
yang bertugas masak bekalnya dari pukul 6.00. Tapi cuaca yang
mendukung untuk males keluar pagi-pagi itu benar-benar top markotop.
Hingga akhirnya pukul 7.00 baru dah bangun, dateng ke kosan mbak
Mila, mbantuin goreng kerupuk ._.
Belum lagi di tempat mbak
mila, gak bisa pasang gasnya. Makin lama lagi kan ceritanya.hhe
Yaudah tapi gak apa-apa yang penting sayur capcaynya mateng. Gitu
aja.
–-+--
Siang itu cuacanya
bener-bener, fanas. Sumfeh dah.
Untungnya disepanjang
perjalanan menuju sungai Argo Gurunya bisa sedikit menyejukkan hati
yang kosong ini. Tsahhh. Untuk sampai di sana, kami melewati Hutan
Jadi (yang gak terlalu hutan banget), perkampungan warga, Lapangan
sepakbola, kebun singkong, jembatan sungai yang saya lupa namanya,
kebun jagung, kebun jagung, turunan yang menyadarkan saya bahwa saya
salah busana, bebatuan besar, dan jeng-jeng-jeng Sungainya ketemu
deh.
melewati perkampungan |
melewati kebun singkong |
panen singkong...orang lain |
Tapi untuk melewati itu
semua tidak mudah. Ratusan peluh menetes membasahi bumi pertiwi ini
*tsahhh*. Letak sungai Argo Guruh
yang ada di belakang bukit—entah apa namanya saya tidak tahu,
mengharuskan saya dan kawanan untuk menempuh perjalanan memutari
bukit. Kalo dari kejauhan sih gak seberapa gede bukitnya. Jadi
pandangan pertama itu gak seberapa jauh juga jalannya. Cuma, ternyata
jalanannya yang blenyek alias becek dan sempit dan bagian pinggir
jalannya adalah aliran sungai – yang udah dipastikan itu dalem.
Jadi musti hati-hati gitu.
Belum
juga jauh-jauh banget jalannya, dari jauh terdengar ada suara
anak-anak kecil yang manggil-manggil. Kalo gak salah waktu itu
diteriakinnya gini...
“kak,
kak, mas, mbak, jangan lewat sana. Jalannya jangan lewat sana...”
nah
gitu kayaknya waktu itu. Pokoknya beberapa saat setelah mendengar
teriakan itu, akhirnya kami berbalik arah lagi deh. Dan kemudian kami
mengikuti anak-anak yang ngasih tau kalau jalan kami salah.
Sebenernya
salah sepenuhnya juga enggak sih. Karena berdasarkan pengalaman salah
seorang teman saya, dulu dia juga lewat sana. Ya cuman bedanya, kalau
lewat jalan yang dibilang 'salah' itu lebih nanjak, dan nanti
langsung ke hulunya.
Sedangkan
jalan yang ditunjukan sama anak-anak penduduk sekitar itu jalanannya
gak nanjak, dan menuju ke hilir. Gitu.
Oke,
karena sang surya semakin berjaya di singgah, panas semakin
menusuk-nusuk jempol kaki dan daerah sekitarnya.
Kali
ini jalanannya gak lagi becek, dan gak sempit. Dan dipinggiran
jalannya bukan lagi sungai yang dalem, melainkan perkebunan jagung
yang lagi di panen. Jadi tetep aja panas. Karena batang-batang
jagungnya udah pada roboh. Rame warga yang lagi manen. Sempat
ditanyain sama beberapa bapak-ibu—yang lagi manen jagung, mau ke
mana kami ini. Yang jawab sih anak-anak yang yang nunjukin jalannya.
Sayangnya
gak ada yang ngasih jagungnya ._.
Nah,
tadikan sudah disampaikan kalau jalanan yang ditempuh ini gak nanjak,
tapi jalanannya menurun. Nurunnya ini yang bikin kejutan. Harus
melewati jalan menurun yang dikit lagi membentuk sudut 90 derajat
ditambah banyak kerikil kecilnya dan gak ada pegangannya di
sekitarnya. Hanya ada rumput kecil yang—mana mungkin kuat nahan
berat badan saya beserta 4 liter air minum yang dibawa. Oh migot.
“Kadang bukan batu besar yang menghalangi jalanmu, tetapi batu kerikil kecil yang ternyata tajam yang membuat ban motormu kempes”
nah
itu.
Alhamdulillah,
meski harus tarik-tarikan sama akar pohon bisa turun dengan selamat.
Saya jadi kepikiran gimana cara naiknya pas pulang. Kalau turunnya
aja susah. Hadeuh
Dan
akhirnya sampe juga di tempat yang dituju. Yeay.
Airnya
dingin. Beneran dingin. Udah pengen berendem aja gitu. Sejuk. Buanyak
lagi airnya.hhe
Tapi
sayang, baru beberapa
menit pantat nempel duduk di atas batu. Baru juga merasakan
kesejukan, harus jalan lagi. Nyari tempat yang lebih greget lagi.
Yah, memang sih, di tempat ini pemandangannya kurang nonjok.:D
Akhirnya
jalan lagi. Dan lewat kebun jagung lagi. Dan jalannya turun lagi. Dan
kali ini saya harus ngesot-ngesot buat turunnya. Dan saya benar-benar
sudah lelah ._.
Setelah
melewati bebatuan yang buesar-besar, dan pohon-pohon yang besar juga,
akhirnya sampai juga ketempat yang lebih sejuk lagi. Lebih adem.
Ya,
lebih adem. Beberapa kali ngambil poto dengan bekgron tempat yang
kali ini, kemudian ada hal yang merusak pemandangan. Kok ada BH yang
bergelantungan gitu di batang pohon beringin yang berada di antara
bebatuan besar. Heran deh. Apa tuh BH kuntilanak yang lagi dijemur
yak -.- Mana warnanya pink pula. Aduh, kakak-kakak ceweknya malah
yang ngerasa risih ya. Kakak cowoknya pada ketawa aja. Akhirnya
pindah lagi.
Naik
turun batu-batu lagi. Dan cukup ini yang terakhir. Saatnya
benar-benar menikmati pemandangan dan suasana.
Sungai
Argo Guruh ini bagus, apalagi kalo buat arung jeram—kata seorang
kakak. Bisnis menjadikan tempat ini sebagai destinasi wisata pun
mulai berkelebat di otak kakak-kakak yang ikut saat itu. Hanya saja,
karena musim hujan yang belum berlalu membuat airnya agak keruh alias
butek. Tapi, bebatuan yang ada disungai dan sekitarnya itu loh, yang
bikin makin keren. Warna bebatuannya ini lebih hitam dibandingin sama
bebatuan yang ada di kali deket rumah saya. Arusnya kenceng lagi.
Dengan lebar yang mungkin lima meteran lah.
Sampe-sampe
cuman dua orang aja yang berani terjun buat ngerendem badan.
Katanya,
ada batu yang berbentuk beruang. Tapi, mungkin daya penglihatan saya
kurang terasah, jadi saya gak ngelihat ada batu yang berbentuk
beruang. Walaupun udah ditunjuk-tunjukin sampe mata keculek juga saya
gak ngliat tuh.hhe
--+--
Mengingat
bekal yang sudah di bawa, dan ikan yang belum di bakar, kini saatnya
mengeksekusi ikan untuk di bakar di atas bebatuan Argo Guruh. Harus
nyari ranting-ranting kayu dulu. Harus nyari daun kering dulu. Harus
naik-naik ke atas batu—yang tingginya 2x tinggi saya—tinggi saya
158cm. Kenanpa harus naik batu setinggi itu? Karena di dekat atas
batu itu tumbuh pohon jati. Daun jati kan lebar-lebar ya, lumayan
buat kipasan *nah
Satu
menit—dua menit---bermenit-menit nungguin ikan selesai dibakar,
yang lainnya ngupas buah buat petisannya. Yang dua sibuk
ngipas-ngipasin ikannya. Sisanya sibuk makan petisannya.ummm
ikannya abis |
“Sungguh nikmat Tuhanmu yang manakah yang kaudustakan.”
Angin sepoi-sepoi pinggir
sungai, sambil makan ikan bakar gratis+sayur capcay yang ternyata
rasanya enak loh.
Oh iya, anak-anak yang
nganterin kami itu masih nungguin juga loh. Mereka sih malu-malu
meong gitu waktu ditawarin makan bareng. Yah, gak malunya waktu
nanyain semua nama kakak-kakak yang cowok beserta pesbuknya. Gak
ketinggalan nomor hapenya juga. Maklum yang nganterin—dan nungguin
ini dedek-dedek cewek cemua. Tapi kakak-kakak yang cewek juga
ditanyain ding. Termasuk saya.
–-+--
Dimanapun berada, solat
tetap harus di jalankan ya teman-teman yang muslim. Kebeneran yang
ikut ke Argo Guruh ini muslim semua, dan solat semua. Dan solatnya di
atas batu semua. Menghadap kemanakah solatnya? Pastinya menghadap
kiblat loh. Hhe
Setelah beberapa batu
diseleksi untuk dijadikan tempat solat, dapatlah satu batu terata
diantara batu yang gak rata sama sekali. Sebenernya ada batu yang
datar, cuman karena terlalu mendapat banyak sinar matahari, batunya
bisa bikin kulit melepuh juga gitu. Akhirnya saya solat di atas
batu—yang lebih mirip batang pohon yang udah jadi fosil. You know,
di bawah batunya itu banyak batu kecil dan ada genangan airnya. Jadi
kalau kegeser dikit, pastilah saya gak pulang dengan selamat. Saya
pulang dengan ambulan._.
Begitu juga saat solat
ashar. Batu yang dipilih kali ini batu yang lebih ekstrim lagi.
Sudahlah gak rata, ternyata banyak semutnya. Heduh.
--+--
Selesai solat zuhur
kegiatannya dilanjutkan dengan rapat kecil-kecilan. Nih kurang
antimainstream gimana lagi, rapat dipinggir sungai yang sepi begini,
jauh dari perkampungan. Meninggalkan kendaraan di rumah orang.
Saat jam digital di Hape
sudah menunjukkan angka 16.00 dan 'acara'nya belum juga selesai,
suasana gelap mulai menyelimuti daerah Sungai Argo Guruh. Padahal,
sebelumnya sudah janji sama ibu yang dititipin motor, kalau kami
pulangnya pukul 4 sore. Namun nyatanya, sudah pukul segitu jalan
berangkat pulang juga belum kami ini.
Akhirnya, hari yang
semakin sore, mendesak kami untuk benar-benar segera pulang. Dan kali
ini kami telah di tinggalkan oleh anak-anak penunjuk jalan. Kami
pasrah saja kemana kaki melangkah.
Ada kejadian yang sangat
membuat semuanya super deg-degan. Pas pulangnya ini kan kita harus
naik batu yang tingginya 2x tinggi saya itu. Dan disini saya
benar-benar menyesali, kenapa saya harus pakai rok._. menyesal selalu
datang terlambat. Dan bukan itu kejadian yang bikin super
deg-degannya. Kejadiannya adalah, kan ada salah satu dari kami yang
(maaf) ukuran badan lebih sehat dan makmur dari yang lainnya, dan
beliau ini adalah 'kakak' diantara 7 orang lainnya. Saat harus
menaiki batu setinggi itu, tentu saja 'kakak' ini mengalami
kesulitan. Saya aja sulit. Nah, tiba-tiba saja, si 'kakak' ini
tergelincir dan salah satu kakak cowok yang di bawahnya untung saja
sigap dan kuat nahannya. Kalu enggak, yah udah … gak tau gimana.
Setelah semuanya sampai
atas, kini harus membungkuk. Berangkatnya jalan menurun, ya pulangnya
jelas aja jalannya nanjak. Berkejaran sama awan gelap yang mulai
menyelimuti, langkah kami terus dipercepat.
Pas udah sampe atas, yang
terlihat hanya kebun-kebun jagung. Ada batang jagung yang berserekan
di bawah, dan lebih banyak yang masih berdiri gontai. Ini bener-bener
menutupi arah jalan pulang. Kami benar-benar gak tau arah mana yang
harus ditempuh.
Yang kira-kira bisa buat
lewat, kami lewati saja. Hingga akhirnya, beberapa puluh menit kami
berusaha keluar dari kebun jagung itu, kami menemukan sebuah jalan
setapak. Yang kami harap tidak salah.
--+--
Untunglah, kami gak salah
jalan. Dan akhirnya kami sampai di tempat ibu yang jual gorengan.
Beginilah yang dikatakan
sang ibu saat kami sampai di rumahnya,
“Kok lama. Tadi ibu
udah mau lapor ke polisi yang di depan sana. Soalnya kok gak
balik-balik, takutnya ada apa-apa.”
Ya, kalau lebih lama
dikit dijalan, mungkin saya dan kawan-kawan beneran udah disusulin
sama polisi. Maklum ibu ini khawatir, karena menurut kabar yang
berhembus, di Suangai Argo Guruh itu pernaha da kejadian pembunuhan
gitu.
--+--
Dan beberapa hari
kemudian saya menerima sebuah pesan singkat,
“h@i
kak, La9e NgaPaind?”
Saya shock dong. Disaat
saya sudah benar-benar melupakan masa mengetik seperti itu, kenapa
ada yang sms begitu. Ternyata, itu adek—yang minta nomor handphone
saya pas di Argo Guruh. Dan gak cuma itu, beberapa hari setelah sms
itu, si adek itu, nge-add saya di FB. Karena namanya yang 'begitulah'
sebelumnya saya liat dulu foto profilnya. Barulah saya konfirm tuh
adek.