-->
Nafilata Primadia

Cerbung Ayat-ayat Cinta 2 Bagian 81

Cerbung Ayat-ayat Cinta 2 Bagian 81
Cerbung Ayat-ayat Cinta 2 Bagian 81
Cerbung Ayat-ayat Cinta 2 Bagian 81



Kata-kata syaikh itu tampak sederhana namun mengandung fiqh realitas dan fiqh sosial yang dalam dan luas. "Kalian menyatukan Hari Raya Idul Fitri  saja tidak bisa!" Padahal idul fitri itu terjadi setelah umat ini digembleng selama satu bulan penuh di bulan Ramadhan. Digembleng lahir dan batin. Digembleng untuk bersatu. Shalat jamaah bersama, buka puasa bersama, tarawih bersama, i'tikaf bersama. Alangkah indahnya. Namun begitu selesai Ramadhan untuk syiar bersama dalam hari raya bersama, ternyata gagal.
"Kalian menyatukan hari raya idul fitri saya tidak bisa!"

Puasa adalah ibadah yang paling dijauhkan dari riya'. Hanya Allah yang tahu. Semestinya keluar dari ramadhan, semua yang berpuasa rendah diri, tawadhu, dan mudah mengalah demi saudaranya. Namun, yang terjadi justru sering kali ego untuk merasa lebih benar dan lebih tepat membaca dalil yang di majukan. Maka persatuan yang utuh dalam Hari Raya yang paling fitri itu gagal tercipta. "Kalian menyatukan hari raya idul fitri saja tidak bisa!"

Ketika hari raya idul fitri gagal bersatu, lalu muncul ungkapan yang bijak-bijakan dan saling menghibur, 'Hormatilah perbedaan, dalam perbedaan pendapat itu ada rahmat.' Menurutnya, itu adalah kalimat yang tidak pada tempatnya. Seorang faqih sejati harus mengerti di titik mana perbedaan pendapat itu rahmat dan di titik mana persatuan harus diutamakan. Seorang faqih sejati harus tahu ada kalanya pendapatnya harus rela ia tinggalkan dan ia ikuti pendapat yang lain demi persatuan umat.

Kata-kata itu masih terngiang. "Kalian menyatukan hari raya idul fitri saja tidak bisa!"

Apakah mereka lupa tujuan utama, atau maqashidusy syariah adanya idul fitri dan idul adha? Adalah agar ummat ini kokoh persatuannya. Agar umat ini bergembira, optimis dan kokoh persatuan jiwa dan raganya.

Takbir menggema berwibawa tanpa ada 'ghil', tanpa ada ganjalan perbedaan dalam hati. Persatuan sejati, luar dalam, lahir batin. Itu fiqh maqashidnya.

Kenapa para ulama, para fiqih dan cerdik cendikia muslim itu tidak menjadikan ijtihad sebagai ijtihad yang menyatukan umat, kenapa lebih sering memakai ijtihad untuk membela ego kubu kelompoknya?

"Kalian menyatukan hari raya idul fitri saja tidak bisa!"

Jika menyatukan hari raya idul fitri saja tidak bisa, bagaimana mau menciptakan persatuan ekonomi, persatuan politik, dan lain sebagainya yang lebih luas?

Ia jadi rindu pada sosok Abdullah bin Mas'us radhiyallahu anhu, seorang sahabat nabi yang juga seorang faqih sejati. Dalam hadits, semua riwayat menjelaskan bahwa Rasulullah saw, ketika haji beliau shalat di mina dengan mengqashar shalat dzuhur dan ashar menjadi dua rakaat. Itulah yang diikuti Abu Bakar dan Umar radhiyallahu anhuma. Imam Abu Daud meriwayatkan, bahwa Utsman bin Affan ra, shalat di mina empat rakaat. Artinya tidak seperti rasulullah saw., Abu Bakar, dan Umar. Ketika kabar itu sampai kepada Abdullah bin Mas ud, seketika beliau mengingkari apa yang dilakukan Ustam tersebut seraya berkata, 'Aku shalat di belakang Rasulullah saw, serta di belakang Abu Bakar dan Umar (mereka semua mengqashar menjadi dua rakaat), lalu muncul di zaman khalifah Ustman disempurnakan menjadi empat rakaat (di Mina). Sehingga kalian terpecah belah. Sungguh aku berharap diterimanya dua rakaat dari empat rakaat yang aku lakukan bersama Ustman. Setelah itu Abdullah bin Mas ud shalat empat rakaat di belakang Utsman. Beliau diprotes, ' Anda mengkritik Utsman, sedangkan anda sendiri tetap shalat empat rakaat (makmum dibelakang Utsman)?' Ibnu Mas ud menjawab, 'Perselisihan itu buruk!'


***
Bersambung
Nafilata Primadia
Load comments