-->
Nafilata Primadia

[Cerbung] Ayat-ayat Cinta 2 Bagian 83

[Cerbung] Ayat-ayat Cinta 2 Bagian 83
Cerbung Ayat-ayat Cinta 2 Bagian 83
Cerbung Ayat-ayat Cinta 2 Bagian 83


"Masuklah menjadi bagian dari orang yang berjalan kembali menuju Allah. Segera! Jangan menunggu hingga jalan itu tidak dapat dilalui, atau tidak ada lagi orang yang bisa memberi petunjuk ke jalan itu. Tujuan itu datang ke bummi yang sempit dan pasti musnah ini bukan sekadar untuk makan, minum, bersetubuh, atau berfoya-foya semata. Perilaku seperti itu bukan yang dikehendaki oleh Allah dan diajarkan oleh Nabi-Nya yang paling mulia Muhammad saw!"

Kata-kata itu seperti meresap ke dalam dadanya. Kata-kata ulama besar yang 'arif billah itu seumpama gerimis yang menyirami ladang yang mengharapkan curahan hujan. Setiap katanya sangat bermakna. Fahri bersyukur kepada Allah yang telah memberi taufiq kepada para ulama terdahulu untuk menulis karya. Warisan mereka sangat berharga untuk generasi sekarang. Ia tidak bisa membayangkan, apa yang akan terjadi sekiranya para ulama dulu itu tidak menggerakkan penanya menuliskan ilmu yang mereka fahami, mereka hafal, dan mereka amalkan. Karena mereka menulislah maka ilmu itu tidak hilang, bahkan terus berkembang. Karena karya-karya mereka yang masih dibaca jutaan umat saat ini mereka seolah tidak pernah mati. Mereka seolah terus hidup memberikan pengajaran dan pencerahan kepada jutaan orang.

Syaikh Abdul Qadir Jailani, kembali berkata kepada Fahri, "Seandainya kita tidak mengenal Allah, lantas bagaiman kita dapat menyembah-Nya, memuji-Nya, dan minta pertolongan kepada-Nya?"

Kata-kata itu menetes ke dalam jiwa. Dengan membaca kitab itu, ia seperti mengaji dan talaqqi kepada Syaik Abdul Qadir AL Jilani meskipun berada di kampus The University of Edinburgh. Ia tetap menempatkan ulama sebagai ulama. Dan karya-karya ulama itu sama dengan perkataan para ulama yang ia dengarkan dengan seksama. Apalagi jika yang ia baca adalah kitab tafsir atau hadits. Ia membaca dengan penih takzim kepada para pengarangnya. Meskipun sebagai akademisi ia juga tetap kritis. Jika sebuah tafsie ada israiliyyatnya, maka ia buang israiliyyat itu.

Demikian juga ketika membaca kitab Sirrul Asrar, ia tidak kehilangan daya kritisnya sebagai akademisi yang memiliki bekal ilmu hadits. Dalam kitab itu. tidak ia tampik ada beberapa hadits yang tidak jelas asalnya. Tentu saja bagian itu ia catat. Namun kebaikan yang terkandung dalam kita itu jauh lebih besar dari kekurangannya yang sama sekali tidak mengurangi takzimnya kepada sang penulisnya.

Fahri begitu asyik membaca kitab itu. Ia seperti masuk ke dalam relung-relung jiwa kitab itu. Ia tersadar ketika pintu ruang kerjanya diketuk. Ia melihat jam tangannya. Sudah tiba waktunya menerima mahasiswa yang akan dibimbingnya. Ia menutup kitab itu dan meletakkan kembali ke tempatnya. Ia lalu melangkah ke pintu dan membukanya. Ia sedikit terkejut ketika mendapati orang yang berdiri di depan pintunya itu adalah gadis China itu.


***
bersambung...
Nafilata Primadia
Load comments